Ledakan bom terjadi di Kampung Melayu, Jakarta, pada Rabu (24/5) malam. Menurut pihak kepolisian, sebagaimana dikutip dari beberapa laman berita, ada 15 orang yang menjadi korban. Lima diantaranya meninggal dunia, dan sepuluh lainnya kini dirawat di rumah sakit.
Sampai dikala ini, belum ada konfirmasi soal siapa yang berada dibalik bom yang diduga merupakan 'bom bunuh diri' di Kampung Melayu itu. Namun yang jelas, pelakunya yakni teroris. Sebab dalam Kamus Bahasa Indonesia (versi Kemendikbud) disebutkan jikalau perjuangan menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan disebut teror. Dan pelakunya disebut teroris.
Teroris senantiasa bertujuan menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman, apapun caranya. Dan terdistribusi secara masif pesan-pesan ketakutan itu merupakan salah satu tujuan dari acara terorisme. Dan dengan sadar maupun tidak sadar, kita pun ikut serta dalam kegiatan mendistribusikan kegiatan terorisme tersebut. Benarkah?
Ingat lagi kata kunci dari kegiatan terorisme, yakni takut, ngeri, dan kejam. Maka siapapun yang ikut serta mengembangkan pesan-pesan yang mengandung tiga kata kunci itu, secara tak eksklusif ia pun turut mengembangkan pesan-pesan terorisme. Dan di kala media umum ini, partisipasi penyebaran pun semakin bertambah masif pula. Mari kita simak beberapa alasan mengapa semakin banyak orang yang ikut serta mengembangkan terorisme.
 |
Aparat kepolisian sedang melaksanakan olah TKP / Gambar: BBC.com/indonesia |
1. Menyebarkan Foto Korban dan Pelaku Yang Mengandung Unsur Sadisme Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan melayangkan sanksi bagi televisi yang menayangkan episode sadisme. Bahkan merahnya darah pun mesti disensor untuk mencegah kondisi traumatik bagi sebagian orang.
Untuk soal liputan televisi, media-media Indonesia memang mesti menggandakan media-media besar di Amerika Serikat. Sebab ketika ada kejadian terorisme, kecelakaan, dan bencana alam, tak ada tayangan darah apalagi mayit bergelimpangan. Yang ada hanyalah kesdihan, responsifnya pegawanegeri terkait dalam menangani kejadian, dan birokrat yang segera mengambil langkah-langkah tertentu. Sehingga di selesai tayangan, yang muncul yakni rasa simpati, kepedulian, dan semangat untuk segera melanjutkan jatah usia yang tersisa.
Televisi dan media di Indonesia pun pelan tapi pasti mengikuti teknik pemberitaan yang disebut oleh Jacob Oetama sebagai insight journalism itu. Namun di dikala yang sama, ketika media-media melaksanakan sensor, justru muncul jurnalisme warga yang tidak bertanggung jawab. Sebab mereka dengan gampangnya mengunggah foto-foto sadisme di media sosial.
Ketika simpati dan kepedulian digaungkan oleh media massa arus utama, namun ketakutan dan kengerian sebagai potongan dari terorisme malah disebar oleh oknum pengguna gadget lewat media sosialnya. Mereka dengan bangganya mengembangkan foto-foto jasad dari korban maupun pelaku yang mengandung sadisme. Tanpa sadar, ketakutan dan kengerian yang menjadi potongan dari terorisme, telah disebar secara masif.
Selain itu, tidak mengembangkan konten sadisme dari jasad tersebut yakni merupakan potongan dari menghormati jasad manusia.
2. Meneruskan Pesan Berantai yang Berpotensi Hoax "Hati-hati bom akan kembali meledak di kawasan X," dan pesan-pesan sejenis mungkin akan membombardir gadget kita. Untuk itu segeralah berhenti di kotak masuk kita dan jangan biarkan orang lain ikut panik. Sebab yang berhak untuk menginformasikan yakni pihak kepolisian, bukan sobat kita apalagi nomor yang sama sekali gila di kontak telepon kita.
Pesan berantai ini sangat sering terjadi setelah sebuah tindakan terorisme terjadi. Dan mampu saja tersebar dikala tidak terjadi apa-apa. Tujuannya ya cuma satu, menciptakan ketakutan sebagaimana tujuan terorisme. Pesan tersebut mampu saja terjadi, namun sepanjang sejarahnya, pesan-pesan berantai semacam itu hanya berupa bahaya kosong belaka. Jika pun benar, maka pegawanegeri kepolisian akan selalu melaksanakan langkah-langkah terkait.
3. Menyebarkan Teori Konspirasi Teori konspirasi terkait sebuah tindakan terorisme memang sangat marak dicetuskan oleh seseorang. Padahal beliau bukan pengamat terorisme, bukan pula pakar di bidang penanggulangan terorisme, namun hanya punya gadget dan sedikit informasi perihal kejadian teror yang berlangsung. Dan di media sosialnya ia tulis panjang lebar mengenai problem yang terjadi dengan menggunakan unsur
cocoklogi.
Punya pedoman perihal terorisme boleh-boleh saja. Namun mengembangkan hal-hal yang berpotensi menyebabkan konflik lain, bahkan menjurus pada fitnah kepada kelompok tertentu sangat tidak disarankan. Sebab itulah juga yang menjadi tujuan dari terorisme.
Maka ada baiknya untuk menjaga diri, baik secara fisik di lingkungan masyarakat, serta menjaga verbal dan goresan pena supaya tidak mudah mengumbar dan ikut mengembangkan teori konspirasi yang tidak terang kebenarannya. Berikan kesempatan supaya pihak kepolisian melaksanakan tugasnya, dan kritisi kinerja mereka secara berimbang.
Penutup Aksi terorisme memang dilakukan secara fisik. Tapi secara psikis, agresi ini mampu menyasar secara global. Sebab pesan-pesan berupa ketakutan dan kecemasan yang menyertainya mampu didistribusikan oleh siapapun, terutama di jaman digital ini. Maka hentikanlah di tangan kita sebisa mungkin konten-konten yang turut mengembangkan potongan dari pesan-pesan terorisme. Ikuti informasi dari sumber-sumber resmi secara kritis, tetap peduli kepada sesama, dan jaga keutuhan bangsa.
#KamiTidakTakut #PrayForIndonesia
Belum ada tanggapan untuk "3 Fakta Pengguna Media Sosial Juga Membantu Terorisme"
Posting Komentar